Mengharapkan sesuatu yang belum pasti bisa digapai, adalah tindakan bijak bagi semua orang. Apalagi harapan yang menyangkut kesejahteraan pendidik swasta yang masih harus berjuang melawan nasibnya, ketimbang melengkapi kompetensi bahan ajarnya untuk peserta didiknya.
Meski kesejahteraannya itu menjadi faktor pendukung utama sebuah sematan “pendidik professional”. Namun hingga saat ini korelasi antara keduanya tak kunjung terwujud. Apa yang bisa diharap lagi dari seorang pendidik swasta.
Hanya sepihak saja tuntutan profesionalisasi didengungkan oleh otoritas, yang menuntut terentaskanya keterpurukan standar pendidikan kita yang entah kapan bisa terwujud, sementara itu di lain sisi sang pendidik swasta masih meregang dan menggapai kehidupan yang layak.
Betapa tidak untuk penghasilan pendidik swasta se- Indonesia masih banyak yang berada jauh di bawah UMR, dan ini telah berlangsung berpuluh tahun. Sementara kita bertambah harus melewati jurang kesenjangan perbedaan mutu dengan negara lain. Selaras dengan menganganya jurang kesenjangan kesejahteraan pendidik swasta dengan pendidik PNS, yang rencananya bakal menerima gaji ke-13, pada bulan Juni tahun ini.
Berdasarkan data jumlah guru yang tersebar di seluruh Indonesia adalah sebesar 2.607.311 guru. Sedangkan menurut Direktorat Kependidikan Tenaga Kependidikan jumlah guru PNS yang tersebar di Indonesia adalah sejumlah 1.430.505 guru. Dengan demikian bisa kita tentukan bahwa jumlah guru swasta se Indonesia adalah sebesar 1.176.806 guru, dari semua guru yang ada, menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Prof Muhammad Nuh, sebanyak 66 persen mengajar di sekolah-sekolah di berbagai daerah terpencil di Indonesia.
Kita bisa membayangkan bila sejumlah guru swasta tersebut, masih harus mengejar kebutuhan untuk hidup layak. Sementara itu, mereka semua adalah “sang masinis penggerak gerbong revolusi pendidikan” yang dimesini pembelajaran inovatif professional.
Dengan potensi sebesar itu (jumlah pendidik swasta lebih besar dari PNS), jelaslah kita semua harus mengakui kontribusi pendidik swasta terhadap pencapaian pendidikan nasional menurut standar pendidikan nasional, yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, sesuai dengan yang termaktub dalam PP No 19 Tahun 2005. Maka adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti apabila Disdikpora tidak memperhitungkan mereka dalam pengucuran gaji ke-13.
Dalam era globalisasi dan modernisasi, memang sudah selayaknya sebagai anak bangsa perlu bersinergi menjemput bola, terlebih-lebih untuk anak anak kita yang harus “inten” untuk larut di dalamnya. Guna pencetakan mutu generasi tersebut, tidak mungkin lagi bagi guru swasta yang hanya berpenghasilan dengan sistim jumlah jam mengajar, yang besarnya masih di bawah UMR buruh pabrik. Meski sekarang telah ada tunjangan fungsional sebesar Rp. 250 ribu dan honor daerah yang besarnya bervariasi tergantung kebijakan pemkot/kab masing-masing. Namun kedua tunjangan itupun tidak dapat dipastikan kapan tepatnya waktu pengucurannya. Diharapkan sekali oleh kalangan guru swasta bahwa kedua tunjangan untuk guru tersebut, dapat dikucurkan secara teratur sebulan sekali.
Dengan kondisi yang carut marut demkian maka wajar saja bila sebagian guru swasta menjadi aktif berperan sebagai “parlemen jalanan” dengan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh Forgusta (Forum Guru Swasta Tegal, Jateng) di awal tahun 2010 ini. Bila keadaan sudah seperti ini maka esensi pendidik sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa” telah meredup citranya.
Namun bagaimanapun alasanya mereka , pendidik adalah manusia biasa yang harus menafkahi keluarganya dengan kondisi yang memprihatinkan. Perjuangan yang mereka lakukan sekedar mencairkan sebuah kontroversi antara fungsi dan peran pendidik yang berlabel professional di tengah harga kebutuhan pokok yang cenderung naik terus, namun mereka juga memiliki sisi lain yaitu minimnya kesejahteraan yang mereka terima. Inilah sebuah ilustrasi dari figur pendidik di Indonesia dari dekade ke dekade. Sehingga tidak ada salahnya bila gaji ke-13 juga bisa dinikmati oleh guru swasta, entah dengan cara kebijakan yang bagaimana an bukan hanya “ilusi” yang tergambar di tiap hati guru swasta.
Sehingga tidak terdapat lagi demo guru yang sebenarnya tabu dilakukan, karena profesi guru erat kaitanya dengan martabat bangsa. Menurut Sayidiman Suryohadiprojo Purnawirawan Pejabat Tinggi TNI Angkatan Darat, peningkatan harga diri dan martabat bangsa memerlukan niat amat kuat untuk mengadakan banyak perubahan dalam sikap sehari-hari.(*)
Penulis: Ir. Bambang Sukmadji
Guru MA Futuhiyyah 1. Mranggen,
Demak JATENG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar